Mengkaji kondisi atmosfer dan lautan dalam kaitannya dengan kejadian hujan es sehingga menggunakan data citra satelit dan data reanalisis hujan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
|
Ilustrasi Gambar : https://www.britannica.com/science/ |
Data Yang Digunakan
1. Data Streamline lapisan 850 mb-Analisa data streamline digunakan untuk menentukan daerah konvergensi atau pola belokan angin yang mengakibatkan penumpukkan massa udara sehingga dapat ditentukan potensi pembentukkan awan konvektif.
2.Data Reanalisis
Dapat diunduh melalui website Copernicus ECMWF (https://cds.climate.copernicus.eu/) yang meliputi data divergensi, vortisitas, suhu muka air laut dan kelembapan udara diolah dengan aplikasi The Grid Analysis and Display System (GrADS).
Data Suhu Muka Laut digunakan untuk mengidentifikasi sumber uap air yang berpotensi terjadinya pembentukan awan konvektiv khususnya awan Cumulonimbus (Cb)
3. Data Citra Satelit
Data suhu puncak awan dan indeks stabilitas atmosfer diperoleh dari data satelit Himawari-8 pada tanggal 11 November 2019 kemudian diolah menggunakan aplikasi perangkat lunak SATAID.
- Suhu puncak awan digunakan untuk menunjukkan fase tumbuh awan konvektif Fase tumbuh ditandai dengan penurunan suhu secara terus-menerus secara signifikan dari 20℃ hingga -80℃. Kemudian fase matang biasanya kondisi suhu awan sangat dingin hampir mencapai -80℃ yang menandakan adanya awan konvektif cumulonimbus. peningkatan suhu puncak awan menjadi sekitar -20℃ yang menandakan awan mengalami fase punah (Mardones & Garreaud, 2020).
- Stabilitas atmosferBerdasarkan jurnal penelitian Hadiansyah etal.,2019),untuk indeks LI berkisar -3,1⁰C
- yang menandakan atmosfer tidak stabil dan kemungkinan terjadi badai. SWEAT berkisar 219 dan 220,K-Indeks berkisar 28,3 dan 28,4 ⁰C menunjukkan adanya potensi cuaca buruk kategori sedang.Kemudian untuk dan CAPE bernilai 994 J/kg yang menandakan adanya potensi badai.
|
Badai petir: produksi hujan es Gambar Sumber : https://cdn.britannica.com/ |